dilandasi oleh spiritualitas Gembala Baik dan
pelayanan yang murah hati, ditopang oleh tata-penggembalaan partisipatif dan
transformatif, seluruh umat Keuskupan Agung Jakarta berkehendak untuk
menyelenggarakan pelbagai kegiatan dalam rangka menghayati dan meneruskan nilai-nilai Injili,
ajaran serta Tradisi Gereja Katolik dan melibatkan
diri dalam berbagai permasalahan sosial, terutama kemiskinan, kerusakan
lingkungan hidup serta intoleransi dalam hidup bersama.
Rencana kegiatan dan keterlibatan itu dilaksanakan
dengan mengembangkan tata layanan pastoral berbasis data; memberdayakan komunitas
teritorial lingkungan dan komunitas kategorial menjadi
komunitas beriman yang bertumbuh dalam persaudaraan dan berbuah dalam pelayanan
kasih; menggerakkan karya-karya pastoral yang kontekstual;menggiatkan kerasulan
awam; serta menjalankan kaderisasi dan pendampingan
berkelanjutan bagi para pelayan pastoral.
Semoga Bunda Maria, Bunda Gereja, meneguhkan iman,
harapan dan kasih kita, agar kita semua, bersama Para Kudus pelindung kita,
dengan tulus dan gembira berjalan bersama mewujudkan cita-cita kita.
***
PENJELASAN ARAH DASAR PASTORAL TAHUN 2011-2015 KAJ
PENJELASAN UMUM
Apa yang dimaksud dengan Arah Dasar Pastoral?
Arah Dasar Pastoral KAJ adalah cita-cita yang dituju
oleh Gereja Katolik di wilayah Jakarta, Tangerang dan Bekasi yang ingin
bertumbuh dalam kesetiaan kepada Tuhan Yesus Kristus dan kepada bangsa kita.
Dengan adanya Arah Dasar itu, kita semua didorong untuk merefleksikan situasi,
kondisi dan tantangan khas kita bersama. Atas dasar hasil refleksi itu kita
merancang perkembangan kita dari tahun ke tahun menuju keadaan yang
dicita-citakan. Tentu saja, semua gerak bersama ini kita lakukan dalam
keyakinan teguh bahwa Roh Kuduslah yang mendorong dan menuntun Gereja.
Bagaimana kita menggunakan/memanfaatkan Arah Dasar Pastoral ini?
Pertama-tama, kita berusaha menangkap inspirasi dari
Arah Dasar Pastoral itu, terutama yang mengandung nilai-nilai yang terkait
dengan pelayanan kita. Kita mendapatkan “kesan dan pesan” ketika kita menemukan
bahwa pelayanan kita diteguhkan dan diarahkan oleh Arah Dasar itu. Ambil
contoh, paroki yang sedang menjalankan program beasiswa bagi anak miskin,
diteguhkan dengan ungkapan “keterlibatan pada masalah kemiskinan”. Komunitas
yang memperhatikan kerasulan keluarga, diarahkan untuk mengusahakan keluarga
sebagai paguyuban yang “menghayati dan meneruskan iman”. Maka dengan bantuan
Arah Dasar Pastoral, kita bisa merancang tahap-tahap perkembangan, agar segala
pelayanan kita berjalan menuju cita-cita yang dirumuskan dalam Arah Dasar
Pastoral itu. Kita memantau, mengorganisasikan dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Dengan demikian, Arah Dasar Pastoral ini diharapkan menjadi inspirasi dasar
bagi dinamika seluruh Keuskupan menuju keadaan yang dicita-citakan, dari tahun
ke tahun, hingga saatnya kita merumuskan Arah Dasar Pastoral yang baru lagi.
***
PENJELASAN ISI
Mengapa kita disebut “Umat Allah”?
Ungkapan “Umat Allah” dipilih karena mengandung arti:
umat yang mempunyai relasi dengan Allah, yang percaya padaNya, yang berdoa
padanya, yang meluhurkanNya. Umat beragama dan berkeyakinan lain pun memiliki
pemahaman yang senada, bahwa mereka mempunyai relasi dengan Allah. Yang membuat
kita khas adalah bahwa kita beriman pada Allah yang menjelma pada diri Yesus
Kristus dan terus-menerus membimbing kita dalam Roh Kudus. Maka ungkapan “Umat
Allah” menyiratkan niat inklusif kita, semangat dialog dan kesadaran bahwa kita
adalah sesama di hadapan Allah dan sesama sebangsa dan senegara. Ungkapan “Umat
Allah”, yang berziarah sepanjang zaman dalam dorongan dan tuntunan Roh Kudus,
bersama umat beragama lain, dinyatakan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
(Lumen Gentium Bab II, terutama artikel 14-17).
Mengapa ketiga pilar “iman – persaudaraan – pelayanan” menjadi ciri kita
sebagai Umat Allah?
“Iman – persaudaraan – pelayanan” adalah tiga kata
yang ingin menampilkan iman kita secara utuh. Kita meyakini “bahwa iman
bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman
menjadi sempurna.” (Yak 2:22, TB). Yang kita maksudkan sebagai perbuatan-perbuatan
itu adalah persaudaraan sejati dan pelayanan kasih, yang menjadi ungkapan iman.
Dengan demikian iman itu tidak hanya menjadi urusan personal dan internal umat,
tetapi terwujud dalam perbuatan-perbuatan baik. Dengan demikian, iman memberi
makna (“signifikansi” dan “relevansi”) pada keberadaan umat di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa.
Arah Dasar kita ini dilandasi spiritualitas Gembala Baik dan
pelayanan yang murah hati? Apa yang dimaksudkan dengan spiritualitas
Gembala Baik?
Kita bicara pertama-tama tentang spiritualitas Gembala
Baik. Dibimbing oleh Roh Kudus (itulah sebabnya disebut spiritualitas), kita
bertindak seturut teladan Yesus, Sang Gembala Baik. Gembala baik mengenal dan
dikenal domba-dombaNya (Yoh 1;14). Gembala Baik peduli pada dombanya yang
kesusahan dan tersesat (Bdk. Yeh 34:16). Semangat mengenali dan mempedulikan
kebutuhan umat amat dibutuhkan, karena pelayanan pastoral perlu berdasarkan
situasi dan kondisi konkret umat. Keuskupan kita terletak di kota besar dengan
segala perjuangan hidup umat yang perlu didalami, agar pelayanan Gereja cocok
dengan kebutuhan umat. Kecuali itu, spiritualitas Gembala Baik diperlukan,
karena dalam kenyataan banyak umat hidup dalam banyak tawaran dan kemungkinan
yang bisa “menghilangkan” iman. Entah karena mereka amat sibuk bekerja dan
tidak bisa masuk dalam dinamika paroki, entah karena mereka tidak menemukan
relevansi iman, entah karena mereka cenderung menjadi anonim, mereka semua
senantiasa perlu disapa, ditemukan dan tetap dijadikan bagian dari umat beriman.
Lalu, apa yang dimaksudkan dengan pelayanan yang murah hati?
Pelayanan menjadi murah hati, karena bersumber pada
Allah. “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”
(Luk 6:36, TB). Padanannya adalah pelayanan yang rendah hati, yang dilakukan
dalam kesadaran akan Allah Mahatinggi dan diarahkan pada kemuliaanNya. Inilah
yang membuat Santo Paulus bisa berkata: “Dengan segala rendah hati aku melayani
Tuhan.” (Kis 20:19, TB). Melayani dengan murah hati dan rendah hati berarti
melayani dengan ramah dan gembira, memikirkan bahwa yang diutamakan adalah
keselamatan orang yang dilayani, menyadari bahwa segala peraturan dimaksudkan
untuk membantu orang untuk menemukan keselamatan, membuat yang dilayani disapa
sebagai sesama. Semuanya ini hanya mungkin apabila kita semua menyadari bahwa
Roh Kuduslah yang mendorong kita dan memberi kekuatan pada kita. Pelayanan yang
murah hati membuat umat merasa kerasan dalam keluarga Gereja.
Mengapa penggembalaan Gereja membutuhkan tatanan/pengelolaan?
Keuskupan kita terdiri dari 61 paroki dan amat banyak
komunitas kategorial, baik lintas paroki maupun yang terbatas di daerah
tertentu saja. Kita mempunyai pelbagai komisi/seksi dan komunitas kategorial
yang memperhatikan bidang dan sasaran pelayanan: katekese, liturgi, pendidikan,
kesehatan, karya sosial, media massa, kaum muda, kerasulan awam, lansia. Ada
banyak pelayan pastoral, baik klerus maupun awam. Ada aset-aset yang tidak
sedikit nilainya. Nah, semuanya itu membutuhkan tata kelola yang baik dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Gereja adalah paguyuban umat beriman kepada Kristus.
Memakai istilah St. Paulus, Gereja adalah“tubuh Kristus” (1Kor 10:16; Ef,
4:12). Apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus Kristus, mendapatkan wujud
dalam hal-hal yang melembaga, seperti gedung gereja, liturgi, organisasi,
tingkah laku. Kendati kita yakin, peziarahan Gereja sepanjang zaman ada dalam
bimbingan Roh Kudus, tidak bisa diandaikan bahwa pelbagai perangkat pendukung
hidup Gereja itu tertata baik dengan sendirinya. Diperlukan tata kelola, agar
pelbagai perangkat itu menjalankan fungsinya untuk melayani Tuhan (agar setia
padaNya) dan untuk melayani umat (agar ada di jalan keselamatan). Tata kelola
dengan demikian boleh kita katakan sebagai tata layan, karena memang maksud
dasarnya agar kita semua menjadi komunitas yang melayani.
Mengapa tata-penggembalaan Gereja diberi dua sifat: partisipatif
dan transformatif?
Kalau Gereja dikatakan sebagai paguyuban umat beriman
dan persekutuan dari macam-macam komunitas, maka perekatnya adalah sifat
partisipatif itu. Gereja adalah kita semua, yang mempunyai tugas, tanggungjawab
dan perutusan untuk saling berbagi. Itulah sebabnya paroki membutuhkan dewan,
yang terdiri dari partisipasi wakil-wakil umat (ketua lingkungan, ketua seksi,
ketua komunitas kategorial …). Itulah sebabnya komunitas-komunitas kategorial
membutuhkan kepengurusan.
Tentang sifat transformatif, kita memikirkan mengenai
semangat Gereja untuk terus-menerus memperbaharui diri(Ecclessia semper
reformanda). Roh Kudus membimbing dan membaharui Gereja dari
waktu ke waktu, agar peka dan terbuka pada tanda-tanda zaman, sambil tetap
mempertahankan kesetiaan kepada Kristus. Maka kecuali bahwa Gereja
menyumbangkan diri bagi peradaban dunia, Gereja pun siap untuk diubah oleh
karena kenyataan yang digelutinya berubah. Pelbagai perkembangan diamati dengan
kritis dan sepanjang meneguhkan iman akan Kristus, dijadikan bahan untuk
memperbaharui diri. Sifat transformatif ini menunjukkan sifat terbuka Gereja
pada perkembangan; rendah hati untuk selalu belajar dan mendengar; tidak
reaktif namun kreatif dan cerdik menghadapi tantangan.
Setiap kali merayakan Ekaristi hari Minggu, kita
mengucapkan “Aku Percaya”(Credo). Mengapa demikian?
Sebab, Gereja meyakini rumusan iman seperti yang dirumuskan itu sepanjang
zaman. Di balik rumusan itu ada nilai-nilai Injili yang terus-menerus dihayati
dan diteruskan dari waktu ke waktu dalam rupa tradisi. Keyakinan umat pada zaman
tertentu diajarkan dan diteruskan pada umat pada zaman berikutnya. Tak terasa,
Gereja sudah meneruskan keyakinan iman itu lebih selama dua puluh abad dan akan
terus melanjutkannya.
Kita boleh bertanya, apakah nilai-nilai Injili, ajaran
iman dan tradisi Gereja memang diteruskan saat ini? Kita bersyukur akan hal
baik yang sudah kita lakukan. Namun, kita menghadapi banyak tantangan. Apakah
keluarga di Jakarta masih menjadi tempat penerusan iman? Sejauh manakah
anak-anak muda terbuka bagi pengajaran iman, sementara setiap saat mereka
dibanjiri informasi dari televisi, internet dan perangkat komunikasi modern
mereka? Semuanya ini adalah tantangan sekaligus kesempatan agar kita
sungguh-sungguh mampu merumuskan cara dan bentuk baru yang cocok untuk
pewartaan Injil.
Mengapa kita perlu melibatkan diri dalam
berbagai permasalahan sosial?
Yang mendasari adalah inkarnasi, peristiwa Allah yang
menjadi manusia dalam diri Yesus. Melihat carut-marut dosa di dunia, Allah
tidak tinggal diam di surga. Ia menjelma dalam Allah Putra mewujudkan
kesetiakawanan dengan umat manusia di dunia. Gereja diutus untuk mengikuti
Yesus, Sang “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14:6). Kita tidak berada terpisah
dari dunia, melainkan menjadikan segala sesuatu di yang terjadi dunia sebagai
keprihatinan kita. Lewat keterlibatan dalam pelbagai permasalahan hidup
bersama inilah, kita menapaki jalan keselamatannya. “Kegembiraan dan Harapan,
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa
saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para
murid Kristus juga.” (Gaudium et Spes, art. 1).
Mengapa memilih isu kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup dan intoleransi
dalam hidup bersama?
Pilihan tiga isu, yakni kemiskinan, kerusakan
lingkungan hidup dan intoleransi tidak muncul tiba-tiba. Dalam proses perumusan
Arah Dasar, beberapa narasumber dan buku-buku acuan memberi rekomendasi untuk
memprioritaskan perhatian pada tiga isu tadi. Kita bisa merasakannya dari
dekat: banyak orang miskin di sekitar kita yang sulit memenuhi kebutuhan makan
dan menyekolahkan anak; banjir sering datang saat hujan lebat, sementara
sungai kotor tidak cukup menampung curahan air; perbedaan agama dan suku
beberapa kali memicu konflik. Kita tidak selalu siap mengatasi masalah yang pelik
itu, namun kita tidak tinggal diam. Maka pada masa Aksi Puasa Pembangunan, kita
mengambil suatu sikap dasar “Mari Berbagi”. Itulah sikap dasar kita, sehingga
ketiga isu itu tidak menjadi masalah mereka, tetapi juga menjadi masalah dan
keprihatinan kita. Dua habitus yang terus-menerus kita perjuangkan, terkait
para pekerja rumahtangga dan buruh (yang kita sapa bukan sebagai penjual tenaga
kerja, namun sebagai sesama) serta lingkungan hidup (terutama lewat isu
“sampah”) adalah ungkapan bahwa kita mau sungguh terlibat pada isu tadi. Cara
kerja inklusif, melibatkan komunitas agama lain, memberi kesaksian mengenai
komunitas yang cinta persaudaraan.
Mengapa perlu tata pelayanan pastoral berbasis data?
Agar pelayanan pastoral terselenggara semakin baik dan
bisa dipertanggungjawabkan, dibutuhkan data. Data yang terkumpul pada
gilirannya memberikan informasi yang dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan.
Pelayanan pastoral yang baik harus direncanakan berdasarkan data-data pastoral.
Naluri, keprihatinan pribadi dan penerawangan sungguh tidak memadai untuk
dijadikan dasar keputusan. Data-data pastoral mencakup kondisi umat secara
umum, kebutuhan-kebutuhan pastoralnya (umat membutuhkan pelayanan apa saja dan
bagaimana sebaiknya pelayanan itu dilaksanakan secara efektif), maupun
data-data lingkungan di sekitar umat (kehidupan sosial masyarakat,
tantangan-tantangan dan permasalahan yang dihadapi). Dengan mempertimbangkan
data-data tersebut, program-program pastoral bisa direncanakan dengan tepat
sehingga pelaksanaanya pun membawa dampak positif bagi perkembangan umat.
Sebaliknya, tanpa didasari data-data yang bisa dipertanggungjawabkan, program
pastoral cenderung direncanakan berdasarkan pertimbangan pribadi,
minat/kesukaan, asumsi-asumsi pelayan pastoral, yang bisa tidak sesuai dengan
kondisi umat yang hendak dilayani. Akibatnya, Gereja menawarkan banyak kegiatan
tapi tidak menjawab permasalahan dasar umat secara tepat, bahkan bisa jadi
tidak membawa perubahan semakin baik.
Mengapa perlu memberdayakan komunitas Lingkungan dan komunitas kategorial?
Kalau kita melihat Gereja sebagai paguyuban dari
komunitas-komunitas, maka Lingkungan (teritorial) dan komunitas kategorial
(yang berkumpul karena kategori atau fungsi yang sama) adalah yang
pembentuknya. Gereja menjadi kuat karena pembentuknya yang berada di basis
kehidupan sehari-hari ini juga kuat. Pemahaman ini dituangkan dalam Arah Dasar
terdahulu dengan ungkapan “pemberdayaan umat basis”. Gereja paroki menjadi kuat
karena warga-warganya yang tinggal berdekatan di Lingkungan meneguhkan iman
mereka dalam pertemuan doa, penuh persaudaraan dan pelayanan antar mereka
sendiri dan antar sesama warga se-RT dan se-RW. Saudara yang dekat adalah
tetangga, kata peribahasa. Nah, komunitas yang hidup berdekatan dan berkumpul
di Lingkungan ini selalu perlu diberdayakan, sehingga cita-cita umat basis
(yang teguh imannya akan Kristus, yang memiliki persaudaraan sejati dan yang
mewujudkan pelayanan kasih) bisa semakin tercapai. Spiritualitas Gembala Baik
dan pelayanan yang murah hati pertama-tama perlu dihayati dalam
komunitas-komunitas ini dengan kepekaan untuk memperhatikan peristiwa-peristiwa
keluarga (kelahiran, perkawinan, kematian) yang bisa dipakai sebagai pintu
masuk persaudaraan dan pelayanan.
Apa yang dimaksud dengan karya pastoral yang kontekstual?
Setiap hal yang dilakukan Gereja dalam rangka
penggembalaan umat perlu mempertimbangkan konteks nyata kehidupan. Ada dua hal
yang perlu dipertimbangkan agar karya pastoral bersifat kontekstual. Yang
pertama, adalah kesetiaan Gereja terhadap Kristus yang dihayati lewat
ungkapan-ungkapan seperti ibadat, pengajaran dan penerimaan sakramen. Yang
kedua adalah konteks kehidupan yang selalu berkembang dan berubah, yang sungguh
perlu dijadikan konteks bagi yang pertama tadi. Gereja berada di tempat dan
waktu tertentu dengan segala kekhasan dan permasalahannya. Kalau yang kedua ini
sungguh-sungguh diperhatikan, maka yang pertama tadi, akan memberi relevansi
dan signifikansi pada kehidupan nyata. Dibutuhkan kepekaan untuk mencermati
“tanda-tanda zaman”, berdasarkan data, dengan assesment,
dengan angket dan studi, agar karya-karya Gereja sungguh-sungguh makin melayani
kebutuhan nyata umat dan masyarakat.
Mengapa kerasulan awam mendapat perhatian khusus?
Di KAJ, para imam, bruder dan suster berjumlah sekitar
1500, sementara jumlah umat sekitar 465 ribu. Dari perbandingan kasar ini bisa
disimpulkan bahwa Gereja KAJ terdiri dari mayoritas kaum awam. Dengan demikian,
keterlibatan Gereja dalam penanggulangan kemiskinan, pemeliharaan dan
pembenahan lingkungan hidup, pelayanan kesehatan, peningkatan toleransi amat
ditentukan oleh gerak para awam yang ingin merasul dalam setiap pekerjaan dan
keterlibatan mereka. Kerasulan awam ini menjadi hal yang tidak boleh tidak
niscaya dikembangkan sehingga mereka menyumbangkan kebaikan bagi Gereja dan
masyarakat.
Apa yang dimaksud dengan kaderisasi dan pendampingan pelayan pastoral?
Kita menginginkan bahwa Gereja berlangsung sepanjang
zaman. Namun dalam kenyataan, kita rasakan beberapa kesulitan dan tantangan.
Menemukan pengurus Lingkungan dan pengurus komunitas tidak gampang. Mengajak
orang muda untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja, bukan soal sederhana.
Menyemangati orang Katolik agar tampil sebagai rasul dalam bidang sosial,
ekonomi, budaya dan politik, bukan hal mudah. Maka kita bersyukur bahwa kendati
tidak gampang, toh selalu ada orang yang merelakan diri. Oleh karena itu
kaderisasi dan pendampingan diperlukan, demi kepentingan Gereja di masa depan,
untuk tujuan-tujuan yang membuat Gereja makin siap menanggapi tantangan setiap
zaman.
(h)
BalasHapus